Capres Tak Punya Pandangan Komprehensif Soal Pajak
TEMPO.CO , Jakarta: Sekretaris Jenderal Komisi Anggaran Independen Abdul Waidl menilai kedua calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto tidak mempunyai pandangan komprehensif soal pajak. Dari ajang debat calon presiden Ahad malam lalu, Abdul menilai keduanya belum memandang penerimaan negara yang utama dari pajak harus digenjot serius.
“Ini terlihat jelas karena mereka tak berani menentukan besarnya tax ratio (rasio pajak). Keduanya lebih banyak menggantungkan sumber penerimaan dari pengelolaan sumber daya alam," tutur Wahid, di Jakarta, Senin, 16 Juni 2014.
Padahal, menurut dia, sekitar 70 sampai 80 persen pendapatan berasal dari pajak. Ia menilai seharusnya rasio pajak Indonesia dipatok di level 17 -19 persen, atau di atas rasio yang ada saat ini di kisaran 12,7 persen.
Abdul mencatat setidaknya ada sejumlah kekurangan tiap calon presiden tersebut terkait pajak saat debat berlangsung. Pertama, mereka tidak menyinggung asas fundamental pajak yaitu asas keadilan yakni orang kaya harus menyumbang pajak lebih banyak.
Kedua, para calon presiden tidak membangkitkan kesadaran publik untuk rutin membayar pajak. Bila berkaca pada tahun 2011 ketika jumlah wajib pajak sekitar 22 juta jiwa terdiri dari 19,8 juta wajib pajak pribadi dan 2,2 juta wajib pajak badan.
Angka tersebut masih rendah jika melihat potensi penduduk yang bisa menjadi wajib pajak sekitar 60 juta. Buruknya lagi, dari 22 juta jiwa tersebut hanya sekitar 11 juta yang rutin melaporkan SPT-nya. "Mereka juga seharusnya menyinggung soal korupsi pajak dan tingginya penghindaran pajak oleh wajib pajak khususnya korporasi dan individu kaya," kata Wahid.
Ketiga, tiap calon presiden tidak membahas terkait regulasi pajak yang tumpang tindih. Padahal penataan kelembagaan bidang perpajakan seharusnya jadi pokok bahasan penting. "Saat ini otoritas pajak masih di bawah Menteri Keuangan.” Kekurangan keempat dari calon presiden adalah besarnya potensi pajak yang ada saat ini malah lari ke negara-negara yang termasuk tax haven.
Sumber : Tempo.co, 17 Juni 2014
Baca Juga Artikel Terkait :
Advertisement