Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak Sesuai PMK Nomor : 78/PMK.03/2010
Pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010. Peraturan Menteri Keuangan ini efektif berlaku mulai tanggal 1 April 2010.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 (selanjutnya akan saya sebut dengan Undang-undang PPN).
Seiring dengan perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai sejak tahun 1984 sampai dengan sekarang, maka PMK Nomor 78/PMK.03/2010 ini pun telah mengalami beberapa kali perubahan atau merupakan hasil perubahan dari peraturan menteri keuangan yang telah diterbitkan sebelumnya. Riwayat peraturan menteri keuangan yang diterbitkan sebelum PMK ini dapat disebutkan secara kronologis sebagai berikut :
- KMK Nomor : 1441b/KMK.04/1989 tanggal 29 Desember 1989
- KMK Nomor : 296/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994
- KMK Nomor : 643/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994
- KMK Nomor : 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000
- PMK Nomor : 78/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010
Sebelum kita mencoba “menguliti” apa yang diatur di dalam PMK Nomor 78/PMK.03/2010, mari kita coba pahami ketentuan Pasal 9 ayat (6) Undang-undang PPN.
Pasal 9 ayat (6) Undang-undang PPN menyatakan, apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Memori penjelasan Pasal 9 ayat (5) Undang-undang PPN menjelaskan pengertian penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak.
Yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini, dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Sebagaimana kita ketahui bahwa pengenaan Pajak Pertambahan atas penyerahan barang atau jasa diatur di dalam Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D Undang-undang PPN.
Yang dimaksud dengan "penyerahan yang tidak terutang pajak" adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A UU PPN dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B UU PPN.
Maka berdasarkan Pasal 9 ayat (6) Undang-undang PPN tersebut, jika dalam suatu masa pajak pengusaha kena pajak melakukan dua macam penyerahan sekaligus yaitu penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan ini.
Artinya, pengusaha kena pajak dapat menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan jika memenuhi syarat-syarat kumulatif sebagai berikut :
- Dalam suatu masa pajak pengusaha kena pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak sekaligus melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak
- Pajak Masukan untuk penyerahan yang tidak terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti.
Hal-hal yang Diatur Dalam PMK Nomor 78/PMK.03/2010
Selanjutnya, apa sebenarnya yang diatur dan dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan ini? Hal-hal yang diatur dalam PMK ini paling tidak meliputi;
- Ketentuan perlakuan pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan dan juga melakukan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak
- Pedoman / cara penghitungan
- Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
- Pembatasan penggunaan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan
- Contoh penghitungan
Perlakuan pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan dan juga melakukan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak
Pada Pasal 8 PMK Nomor 78/PMK.03/2010, dinyatakan bahwa Tata cara penghitungan pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Selanjutnya di dalam Lampiran PMK ini diatur bahwa, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan juga melakukan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak dapat terjadi dalam kondisi antara lain :
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), misalnya Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan jagung (jagung bukan merupakan Barang Kena Pajak), dan juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung merupakan Barang Kena Pajak),
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang perhotelan, disamping melakukan usaha jasa di bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha,
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena Pajak berupa roti juga melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang merupakan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai,
- Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, misalnya pengusaha pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa rumah mewah yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak sebagaimana diuraikan di atas, perlakuan pengkreditan Pajak Masukan adalah sebagai berikut :
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya :
- Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung;
- Pajak Masukan untuk perolehan alat-alat perkantoran yang hanya digunakan untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor.
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya :
- Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung bukan merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
- Pajak Masukan untuk pembelian truk yang digunakan untuk jasa angkutan umum, karena jasa angkutan umum bukan merupakan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
- Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
- Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang belum dapat dipastikan penggunaannya untuk penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, pengkreditannya menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. Misalnya :
- Pajak Masukan untuk perolehan truk yang digunakan baik untuk perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung;
- Pajak Masukan untuk perolehan komputer yang digunakan baik untuk kegiatan penyerahan jasa perhotelan maupun untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor.
Pedoman Penghitungan Pajak Masukan
Pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dimaksudkan dalam PMK ini diformulasikan dengan persamaan matematis sebagai berikut :
P = PM X Z | |||
dengan ketentuan : | |||
P | : | Pajak Masukan yang dapat dikreditkan | |
PM | : | Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak | |
Z | : | Persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap penyerahan seluruhnya |
Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
Pengusaha Kena Pajak yang telah mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan seperti tersebut diatas harus menghitung kembali besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dilakukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagai berikut:
- Untuk Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang masa manfaatnya lebih dari 1 (satu) tahun :
P’ = PM X Z' T dimana : P' : Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku PM : Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak T : Masa manfaat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan ketentuan; untuk Barang Kena Pajak berupa tanah dan bangunan adalah 10 (sepuluh) tahun, sedang untuk Barang Kena Pajak selain tanah dan bangunan dan Jasa Kena Pajak adalah 4 (empat) tahun Z' : Persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku - Untuk Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang masa manfaatnya 1 (satu) tahun atau kurang :
P’ = PM X Z' dimana : P' : Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku PM : Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Z' : Persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dari hasil penghitungan kembali, diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak, paling lama pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.
Contoh penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan maupun penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dapat dibaca pada lampiran PMK Nomor:78/PMK.03/2010 atau Anda dapat men-download-nya di halaman ini.
Pembatasan Penggunaan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
Pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini tidak berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan untuk menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (7a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan untuk menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan sesuai Pasal 9 ayat (7) Undang-undang PPN adalah Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp.1.800.000.000. (PMK Nomor 74/PMK.03/2010).
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan untuk menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan sesuai Pasal 9 ayat (7a) Undang-undang PPN adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu (PMK Nomor 79/PMK.03/2010).
Catatan Penulis atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010
- Definisi Penyerahan Yang Terutang Pajak
Definisi menurut memori Penjelasan Pasal 9 ayat (5) Undang-undang PPN :
Yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Definisi menurut Pasal 1 ayat (6) PMK Nomor : 78/PMK.03/2010 :
Penyerahan yang Terutang Pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, tidak termasuk penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Dari 2 (dua) definisi “penyerahan yang terutang pajak” tersebut di atas, ada beberapa catatan yang menjadi perhatian Penulis :
- Menurut memori penjelasan Pasal 9 ayat (5) Undang-undang PPN, yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Di dalam definisi ini, ketentuan pengenaan PPN disebutkan secara umum dan tidak menyebutkan pasal tertentu dari Undang-undang. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ketentuan pengenaan PPN pada Undang-undang PPN terdapat pada Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D. Pasal 16C Undang-undang PPN mengatur pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri sehingga tidak termasuk dalam pengertian penyerahan barang atau jasa. Sedang Pasal 16D secara jelas menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak ….dst. Sehingga kita dapat memahami bahwa penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang dikenai pajak sesuai Pasal 4 dan Pasal 16D Undang-undang PPN. [Definisi I]
- Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (6) PMK Nomor : 78/PMK.03/2010, Penyerahan yang Terutang Pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, tidak termasuk penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam definisi ini secara jelas dinyatakan bahwa yang dimaksud penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang PPN [saja], sedangkan penyerahan BKP yang dikenai PPN sesuai Pasal 16D tidak termasuk dalam pengertian/definisi penyerahan yang terutang pajak. [Definisi II] - Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa definisi penyerahan yang terutang pajak menurut memori penjelasan Pasal 9 ayat (5) Undang-undang PPN berbeda dengan definisi penyerahan yang terutang pajak menurut PMK Nomor 78/PMK.03/2010. Perbedaan ini tentu akan menjadi masalah pada saat kita menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Ilustrasi kasus seperti dibawah ini akan memberikan penjelasan bahwa perbedaan definisi tersebut akan mempengaruhi hasil penghitungan jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh pengusaha kena pajak.
Ilustrasi Kasus
PT. Gema Sawit Moncer (GSM) sebuah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu meliputi perkebunan kelapa sawit dan produksi minyak sawit (CPO). Pada bulan Januari 2011 perusahaan menjual 2 (dua) unit genset lama merk Sukomat kapasitas 1000kVA yang sudah tidak digunakan, dengan harga total Rp.1.200.000.000. Atas penjualan genset tersebut Perusahaan telah memungut PPN dan menerbitkan faktur pajak.
Pada bulan yang sama, Perusahaan juga membeli 3 (tiga) unit truck baru dengan harga Rp.300.000.000 per unit dan telah menerima faktur pajak (nilai PPN sebesar Rp.90.000.000. Masa manfaat truck sebenarnya 5 (lima) tahun, tetapi untuk tujuan penghitungan sesuai PMK ini ditentukan paling lama 4 (empat) tahun. Truck tersebut akan digunakan untuk kegiatan perkebunan dan produksi CPO.
Selanjutnya diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2011 adalah Rp 100.000.000.000 yang berasal dari penjualan CPO sebesar Rp 80.000.000.000 dan penjualan Tandan Buah Segar (TBS) sebesar Rp 20.000.000.000.
Pertanyaan :
Berapakah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PT. GSM pada saat penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada akhir tahun buku?
Jawaban sesuai Definisi I :
P’ = PM X Z' T = 90.000.000 X 80.000.000.000 4 101.200.000.000 = 17.786.561 Penjelasan : P' : Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku = Rp.17.786.561 Z' : Persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak (Rp.80.000.000.000) terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku (Rp.80.000.000.000 + Rp.20.000.000.000 + Rp.1.200.000.000 = Rp.101.200.000.000)
P’ = PM X Z' T = 90.000.000 X 81.200.000.000 4 101.200.000.000 = 18.053.360 Penjelasan : P' : Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku = Rp.18.053.360 Z' : Persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak (Rp.80.000.000.000 + Rp.1.200.000.000) terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku (Rp.80.000.000.000 + Rp.20.000.000.000 + Rp.1.200.000.000 = Rp.101.200.000.000)
Dari ilustrasi di atas menunjukkan secara jelas bahwa hasil penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan menurut Definisi I berbeda dengan hasil penghitungan menurut Definisi II, dengan selisih perbedaan sebesar Rp.266.798 per tahun buku atau secara total sebesar Rp.1.057.194. Besar atau kecilnya selisih tersebut tergantung kepada besarnya nilai penyerahan BKP (eks Pasal 16D UU PPN), dalam hal ini adalah nilai penjualan aktiva berupa genset.
- Keterkaitan Pasal 9 ayat (5) Undang-undang PPN dengan PMK Nomor 78/PMK.03/2010
Memperhatikan ketentuan mengenai perlakuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diuraikan pada poin a dan poin b di atas, menurut Penulis, lebih tepat jika dikatakan bahwa ketentuan perlakuan pengkreditan Pajak Masukan pada poin a dan poin b tersebut merupakan penegasan dan penjelasan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Undang-undang PPN. Alasannya adalah sebagai berikut :
- Perlakuan pengkreditan Pajak Masukan pada poin a dan poin b tersebut tidak melibatkan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 9 ayat (6) UU PPN
- Ketika Pengusaha Kena Pajak sudah dapat mendefinisikan bahwa Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam poin a, berarti bagian penyerahan yang terutang pajak sudah dapat diketahui dengan pasti, maka jelas ini merupakan “wilayah” Pasal 9 ayat (5) UU PPN. Contoh kasus yang dimuat pada Memori Penjelasan Pasal 9 ayat (5) UU PPN, akan lebih memperjelas alasan ini.
- Disisi lain, perlakuan pengkreditan Pajak Masukan pada poin b, dimana Pengusaha Kena Pajak juga sudah dapat mendefinisikan bahwa Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, juga jelas merupakan wilayah Pasal 9 ayat (5) mengingat bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan hanyalah Pajak Masukan yang berkenaan (digunakan) untuk kegiatan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, sehingga sebaliknya Pajak Masukan yang tidak berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak, tidak dapat dikreditkan.
Pemuatan ketentuan perlakuan pengkreditan Pajak Masukan seperti pada poin a dan poin b di atas dalam PMK Nomor 78/PMK.03/2010 ini, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai dasar pengkreditan Pajak Masukan. Karena atas suatu perlakuan pengkreditan Pajak Masukan, misalnya Pajak Masukan atas pembelian pupuk pada perusahaan produsen jagung dan minyak jagung (terintegrasi), maka perlakukan tersebut bisa mendasarkan pada Pasal 9 ayat (5) Undang-undang PPN atau bisa juga mendasarkan pada Pasal 9 ayat (6) Undang-undang PPN juncto Pasal 8 PMK Nomor 78/PMK.03/2010. Padahal antara Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 9 ayat (6) Undang-undang PPN mengatur hal yang berbeda.
Dalam implementasinya, terutama pada ranah official-assessment (pemeriksaan pajak) akan sangat mungkin menimbulkan dispute antara wajib pajak dan fiskus. Bisa terjadi fiskus mendasarkan pada Pasal 9 ayat (6) Undang-undang PPN juncto Pasal 8 PMK Nomor 78/PMK.03/2010 atas penyesuaian fiscal (koreksi) yang dilakukan, sementara menurut Wajib Pajak seharusnya dasar hukumnya adalah Pasal 9 ayat (5) Undang-undang PPN.
Namun demikian, perlu diketahui juga bahwa atas Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 ini sudah pernah dilakukan permohonan hak uji materiil oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Mahkamah Agung dalam hal ini telah mengeluarkan putusannya pada awal Januari 2011. Adapun keputusan Mahkamah Agung dalam hal ini adalah menolak permohonan Hak Uji Materiil dari Pemohon yaitu GAPKI. Dengan demikian berdasarkan putusan Mahkamah Agung, dinyatakan bahwa Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (16), Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (5) jo. Pasal 9 ayat (8) huruf b dan Pasal 16B ayat (3) Undang-undang PPN.
Adapun mengenai hubungan antara Pasal 8 PMK Nomor 78/PMK.03/2010 dengan Pasal 9 ayat (6) Undang-undang PPN, tidak termasuk dalam objek yang dilakukan permohonan Hak Uji Materiil. Oleh karena itu isu kekurangtepatan pemuatan ketentuan perlakuan pengkreditan Pajak Masukan seperti dimaksud pada poin a dan poin b dalam PMK Nomor 78/PMK.03/2010 ini, masih relevan untuk didiskusikan.
Kesimpulan
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 9 ayat (6) Undang-undang PPN, namun demikian didalamnya mengatur juga ketentuan yang terkait dengan materi Pasal 9 ayat (5) Undang-undang PPN.
- Terdapat perbedaan definisi penyerahan yang terutang pajak antara Memori penjelasan Pasal 9 ayat (5) Undang-undang PPN dengan PMK Nomor 78/PMK.03/2010. (setidaknya menurut pemahaman Penulis).
- Ketentuan perlakuan pengkreditan Pajak Masukan di dalam PMK ini dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu :
- Pajak Masukan dapat dikreditkan seluruhnya
- Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan seluruhnya
- Pajak Masukan dikreditkan menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.
Baca Juga Artikel Terkait :
Advertisement
2 Response to "Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak Sesuai PMK Nomor : 78/PMK.03/2010"
Komentar Anda
Silakan tuliskan komentar anda di sini. Mohon untuk mencantumkan identitas minimal nama Anda